Tempat orang terbuang 

Suatu malam yang absurd, aku terpaku disudut sebuah ruangan berukuran 4×5 meter. Jendela kubiarkan terbuka, dan samar terdengar kebisingan khas jalan raya. Sudah sejak dari tadi aku duduk di depan laptop dan tak sedikitpun beranjak. Aku mampir ke ‘ruang’ tulisku yang telah beberapa lama terbengkalai. Di sudut bibir, lidahku masih mengecap kelezatan coklat panas yang cangkirnya sudah mulai mengalami penurunan suhu karena waktu. Tiba-tiba seluruh ingatan membuka semua pintu otak kananku dan mulai merangkai isinya sebagai cerita.

Malam tampak nyaman, suhu udara sedang, dipadukan dengan pemandangan kota yang berhiaskan jutaan watt lampu terlihat dari sudut sebuah loft di distric 9. Tapi kepalaku basah oleh hujan kenangan yang tak pernah mengenal musim. Jemariku pun mulai menari layaknya ballerina di atas keyboard seolah mereka tak mau membiarkan hujan itu terlewat menghapus jejaknya. Dan perlahan mataku pun ikut basah karena tetesannya.

Pikiranku tiba-tiba melayang masuk kedalam adegan Inception ketika Cobb berkata mimpi yang dibangun dengan landasan kenangan adalah cara termudah untuk tidak dapat membedakan mimpi dan kenyataan. Ibarat sebuah limbo, ruang paling dasar dalam mimpi tempat kenangan menjadi bangunan sekaligus sampah bersamaan. Setiap orang harus berdamai dengan waktu dimana dia hidup, tanpa harus merindukan waktu-waktu yang lain.

Mungkin aku sekarang sedang menulis mimpi yang membungkus kenangan, tapi aku tak peduli, aku hanya senang bisa menulis untukmu. Dan terima kasih telah menjadi kenangan gila dalam kehidupan normalku yang naik turun. Kenangan memang seperti kunang-kunang, terlihat indah karena cahayanya yang redup terang. Tapi kenangan juga bisa menjadi lukisan, membuat hidup menjadi beku dan terpasung dalam pajangan.